Jumat, 20 April 2012


KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS)


Pada minggu ketiga Maret yang lalu, pemerintah pusat bersama Tim KLHS Selat Sunda melaksanakan Konsultasi Publik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) di Bappeda Provinsi Lampung. Konsultasi Publik tersebut merupakan bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda yang sudah dimulai sejak tahun lalu. Pertemuan ini mengundang berbagai berbagai pihak terkait diantaranya perwakilan dari Bappenas, pihak pengembang, kalangan industri, BUMN/BUMD, akademisi, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah lingkup provinsi dan kabupaten/kota seperti Bappeda Provinsi Lampung, Bappeda kabupaten/kota, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD), Dinas Bina Marga, Universitas Lampung, HNSI, APINDO, Dinas Perhubungan, Dinas Kelautan dan  Perikanan, serta BPN. Dalam pertemuan tersebut diinventarisasi berbagai isu dan dampak yang berpotensi muncul dari kegiatan pengembangan JSS, baik pada tahap persiapan, pembangunan hingga apabila jembatan tersebut selesai dibangun. Beberapa isu yang terangkum dalam konsultasi publik tersebut diantaranya: pembangunan JSS berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas air permukaan maupun air dalam, penurunan kualitas udara akibat kegiatan agroindustri dan PLTU yang masih mengandalkan bahan bakar batubara, potensi dampak hidrodinamika, sedimentasi dan abrasi, serta beberapa dampak sosiokultural lainnya. Oleh karena itu, perlunya upaya-upaya antisipasi melalui beberapa skenario pembangunan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan terkait untuk meminimalisasi berbagai potensi permasalahan yang mungkin timbul. Bagaimana peran KLHS dalam membantu pemerintah mengambil keputusan dan mengapa pembangunan JSS harus didahului oleh KLHS?

Apa itu KLHS?


Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process) yang bersifat sekuensial dan strategis. KLHS bersifat mandatory (wajib) karena merupakan amanat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 15 (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Beberapa kebijakan yang wajib melaksanakan KLHS antara lain rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Oleh karena itu, pembangunan JSS yang termasuk “mega proyek” dan berpotensi menimbulkan dampak yang besar harus didahului oleh KLHS. Pemerintah selaku pemrakarsa kebijakan/program wajib melaksanakan KLHS.
Instrumen KLHS menjadi sangat penting dan urgen saat ini menilik dari tingkat degradasi lingkungan hidup yang semakin nyata saat ini. Kerusakan lingkungan bersifat sangat kompleks, akumulatif, dan  menyebar dengan cepat didaerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan melibatkan berbagai sektor. Instrumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang selama ini digunakan ternyata tidak cukup mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan AMDAL lebih bersifat teknis dengan ruang lingkup yang terbatas (merujuk pada suatu proyek). Belum lagi diperparah oleh oknum yang menerima pembuatan “AMDAL Pesanan” maupun perusahaan nakal yang tidak melaksanakan dokumen AMDAL dengan sungguh-sungguh. Padahal, sumber masalah degradasi lingkungan hidup berawal dari proses pengambilan keputusan di level strategis yang lebih memprioritaskan pertimbangan ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan dan sosial. Keputusan di level strategis tersebut berupa penetapan kebijakan umum, rencana dan/atau program (KRP). Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu untuk menambahkan instrumen KLHS dalam rangka memperbaiki kualitas pengambilan keputusan. Melalui mekanisme KLHS, diharapkan pertimbangan sosial dan lingkungan hidup mendapat porsi yang seimbang dengan pertimbangan ekonomi dalam penentuan suatu kebijakan (KRP) sehingga prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan dengan baik.

Mekanisme  KLHS


Berdasarkan Pasal 15 (3) UU No. 32 Tahun 2009, KLHS dilaksanakan dengan beberapa mekanisme yaitu: a) pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b) perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c) rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan aplikasi KLHS. Pendekatan pertama terhadap kebijakan/keputusan yang akan ditetapkan (baru) dimana KLHS berperan sebagai alat untuk orientasi (mengarahkan) dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan kedua terhadap kebijakan/dokumen perencanaan yang sudah ditetapkan, maka KLHS berperan sebagai alat evaluasi.
Indonesia belum memiliki prosedur yang baku dalam melaksanakan KLHS. Dalam prakteknya, KLHS dapat disusun dengan beberapa cara, bentuk, bahkan nama kajian. Namun disarankan untuk mengikuti prosedur yang dibakukan oleh  Nations Economic Comission for Europe (UNECE) yang menggunakan prosedur berbasis AMDAL (Environmental Impact Assesment Mainframe). Prosedurnya meliputi penapisan, pelingkupan, dokumen lingkungan hidup, partisipasi masyarakat, proses konsultasi , pengambilan keputusan, pemantauan dan tindak lanjut.
Beberapa prinsip dalam pelaksanaan KLHS meliputi: Integrasi; antara aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kedalam pertimbangan pengembilan keputusan. Adaptif; mengembangkan kemampuan untuk mengelola resiko dan ketidakpastian dimasa depan. Improvement;  memperbaiki setiap pengambilan keputusan dalam KRP, bukan menghambat atau membuat proses perumusan KRP menjadi semakin rumit. Akuntabel; dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan pada publik secara luas (good governance practice) serta Partisipatif; dilakukan secara terbuka dan melibatkan pemangku kepentingan yang terkait dengan KRP. Kegiatan konsultasi publik merupakan salah tahapan dalam rangka meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan yang terkait dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan dan masukan terhadap suatu kebijakan.
Pelaksanaan konsultasi publik KLHS Jembatan Selat Sunda merupakan bagian dari penyusunan dokumen KLHS JSS dalam rangka pelibatan seluruh pemangku kepentingan yang terkait untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana pembangunan JSS. Selanjutnya perlu juga disusun upaya untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif yang akan timbul. Besar harapan kita, bahwa prosedur KLHS dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, memperhatikan aspirasi pemangku kepentingan terkait karena dampak dari “mega proyek” pembangunan JSS ini tidak hanya dirasakan oleh lingkup masyarakat Lampung dan Banten saja, namun juga berdampak pada perkembangan kedua pulau yang akan dipersatukan yaitu Sumatera dan Jawa. Keputusan yang diambil nantinya benar-benar memperhatikan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan secara proporsional dan seimbang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.


oleh: Kuniawan Hudisaputra
(sebagian artikel ini sudah dimuat di Harian Lampungpost, Selasa, 17 April 2012).


Selasa, 10 April 2012

Lets Join

Lampung Go Green

Hijau, identik dengan warna alam yang menyegarkan dan menyejukkan, menjadi simbol bagi upaya-upaya pelestarian dan perbaikan lingkungan. Bahkan penggunaan kata hijau/green meluas hampir disemua aspek kehidupan, yang merujuk pada aktifitas/kegiatan yang lebih ramah lingkungan/pro lingkungan. Beberapa penggunaan kata green diantaranya green economy, yang berkaitan dengan pola pembangunan yang lebih "ramah lingkungan" dengan indikator antara lain tingkat emisi karbon yang rendah dan penggunaan sumberdaya yang efisien. Kemudian penggunaan istilah green building; untuk bangunan yang dioperasikan dengan memerhatikan faktor-faktor lingkungan/ekosistem, antara lain efisien dalam penggunaan lahan, hemat air, hemat energi dan meminimalisasi limbah. Selain itu banyak lagi penggunaan istilah green/ hijau dalam kehidupan sehari-hari.
Greenlampung, merujuk pada beberapa pengertian di atas, berharap Lampung menjadi daerah yang lebih "hijau", ramah lingkungan dan menjaga kelestarian alam. Hal tersebut tidak hanya berdasarkan indikator fisik seperti luasan hutan, ruang terbuka hijau namun juga prilaku masyarakatnya yang lebih peduli akan lingkungan. Semoga blog ini menjadi wadah bagi berbagai pemikiran, sumbang saran untuk mewujudkan Lampung lebih "hijau".

Salam lestari...