KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS)
Pada minggu ketiga Maret yang lalu, pemerintah pusat bersama Tim KLHS Selat Sunda melaksanakan Konsultasi Publik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) di Bappeda Provinsi Lampung. Konsultasi Publik tersebut merupakan bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda yang sudah dimulai sejak tahun lalu. Pertemuan ini mengundang berbagai berbagai pihak terkait diantaranya perwakilan dari Bappenas, pihak pengembang, kalangan industri, BUMN/BUMD, akademisi, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah lingkup provinsi dan kabupaten/kota seperti Bappeda Provinsi Lampung, Bappeda kabupaten/kota, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD), Dinas Bina Marga, Universitas Lampung, HNSI, APINDO, Dinas Perhubungan, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta BPN. Dalam pertemuan tersebut diinventarisasi berbagai isu dan dampak yang berpotensi muncul dari kegiatan pengembangan JSS, baik pada tahap persiapan, pembangunan hingga apabila jembatan tersebut selesai dibangun. Beberapa isu yang terangkum dalam konsultasi publik tersebut diantaranya: pembangunan JSS berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas air permukaan maupun air dalam, penurunan kualitas udara akibat kegiatan agroindustri dan PLTU yang masih mengandalkan bahan bakar batubara, potensi dampak hidrodinamika, sedimentasi dan abrasi, serta beberapa dampak sosiokultural lainnya. Oleh karena itu, perlunya upaya-upaya antisipasi melalui beberapa skenario pembangunan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan terkait untuk meminimalisasi berbagai potensi permasalahan yang mungkin timbul. Bagaimana peran KLHS dalam membantu pemerintah mengambil keputusan dan mengapa pembangunan JSS harus didahului oleh KLHS?
Apa itu KLHS?
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan
instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan pada proses
pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process) yang bersifat sekuensial dan
strategis. KLHS bersifat mandatory (wajib) karena merupakan amanat UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 15 (1)
UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
Beberapa kebijakan yang wajib melaksanakan KLHS antara lain rencana tata ruang wilayah
(RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan
rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta kebijakan, rencana, dan/atau
program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Oleh karena itu, pembangunan
JSS yang termasuk “mega proyek” dan berpotensi menimbulkan dampak yang besar
harus didahului oleh KLHS. Pemerintah selaku pemrakarsa kebijakan/program wajib
melaksanakan KLHS.
Instrumen KLHS menjadi sangat penting dan urgen saat ini
menilik dari tingkat degradasi lingkungan hidup yang semakin nyata saat ini.
Kerusakan lingkungan bersifat sangat kompleks, akumulatif, dan menyebar dengan cepat didaerah seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah dengan melibatkan berbagai sektor. Instrumen AMDAL
(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang selama ini digunakan ternyata tidak
cukup mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan AMDAL lebih
bersifat teknis dengan ruang lingkup yang terbatas (merujuk pada suatu proyek).
Belum lagi diperparah oleh oknum yang menerima pembuatan “AMDAL Pesanan” maupun
perusahaan nakal yang tidak melaksanakan dokumen AMDAL dengan sungguh-sungguh.
Padahal, sumber masalah degradasi lingkungan hidup berawal dari proses
pengambilan keputusan di level strategis yang lebih memprioritaskan
pertimbangan ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan dan
sosial. Keputusan di level strategis tersebut berupa penetapan kebijakan umum,
rencana dan/atau program (KRP). Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu
untuk menambahkan instrumen KLHS dalam rangka memperbaiki kualitas pengambilan
keputusan. Melalui mekanisme KLHS, diharapkan pertimbangan sosial dan
lingkungan hidup mendapat porsi yang seimbang dengan pertimbangan ekonomi dalam
penentuan suatu kebijakan (KRP) sehingga prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dapat diterapkan dengan baik.
Mekanisme KLHS
Berdasarkan Pasal 15 (3) UU No. 32 Tahun 2009, KLHS dilaksanakan dengan beberapa mekanisme yaitu: a) pengkajian pengaruh kebijakan,
rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b) perumusan alternatif penyempurnaan
kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c) rekomendasi perbaikan untuk
pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, terdapat dua
pendekatan aplikasi KLHS. Pendekatan pertama terhadap kebijakan/keputusan yang
akan ditetapkan (baru) dimana KLHS berperan sebagai alat untuk orientasi
(mengarahkan) dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan kedua terhadap
kebijakan/dokumen perencanaan yang sudah ditetapkan, maka KLHS berperan sebagai
alat evaluasi.
Indonesia belum
memiliki prosedur yang baku dalam melaksanakan KLHS. Dalam prakteknya, KLHS dapat disusun dengan beberapa cara, bentuk, bahkan nama kajian. Namun disarankan untuk
mengikuti prosedur yang dibakukan oleh Nations Economic Comission for Europe (UNECE) yang menggunakan prosedur berbasis AMDAL (Environmental Impact
Assesment Mainframe). Prosedurnya
meliputi penapisan, pelingkupan, dokumen lingkungan hidup, partisipasi
masyarakat, proses konsultasi , pengambilan keputusan, pemantauan dan tindak
lanjut.
Beberapa prinsip dalam
pelaksanaan KLHS meliputi: Integrasi;
antara aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kedalam pertimbangan pengembilan
keputusan. Adaptif; mengembangkan
kemampuan untuk mengelola resiko dan ketidakpastian dimasa depan. Improvement; memperbaiki setiap pengambilan keputusan dalam KRP, bukan menghambat atau membuat proses
perumusan KRP menjadi semakin rumit. Akuntabel; dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan
pada publik secara luas (good governance
practice) serta Partisipatif; dilakukan secara terbuka dan melibatkan pemangku kepentingan yang terkait
dengan KRP. Kegiatan
konsultasi publik merupakan salah tahapan dalam rangka meningkatkan partisipasi
pemangku kepentingan yang terkait dalam memberikan
pertimbangan-pertimbangan dan masukan terhadap suatu kebijakan.
Pelaksanaan konsultasi publik
KLHS Jembatan Selat Sunda merupakan bagian dari penyusunan dokumen KLHS JSS
dalam rangka pelibatan seluruh pemangku kepentingan yang terkait untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi
lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan
rencana pembangunan JSS.
Selanjutnya perlu juga disusun upaya untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta
meningkatkan dampak positif yang akan timbul.
Besar harapan kita, bahwa prosedur KLHS dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
memperhatikan aspirasi pemangku kepentingan terkait karena dampak dari “mega
proyek” pembangunan JSS ini tidak hanya dirasakan oleh lingkup masyarakat
Lampung dan Banten saja, namun juga berdampak pada perkembangan kedua pulau
yang akan dipersatukan yaitu Sumatera dan Jawa. Keputusan yang diambil nantinya
benar-benar memperhatikan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan secara
proporsional dan seimbang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
oleh: Kuniawan Hudisaputra
(sebagian artikel ini sudah dimuat di Harian Lampungpost, Selasa, 17 April 2012).